Selayang Pandang Dunia Professional
Kerja tuh, apa pun profesinya, pasti kegiatannya itu-itu aja. Rutinitas. Jadi
kalo kalian lagi cari kerja yang nggak pernah ada bosennya, itu khayalan sih.
Kebanyakan temen-temen gue sih nggak mau kerja kantoran karena kaku, dibalik meja, dan kesannya robotic. Lebih suka kerja di lapangan dan ketemu banyak orang lah intinya. Tapi gimana ya, kalo yang tampak menyenangkan itu jadi bagian dari job description kerjaannya, kan, artinya rutinitas-rutinitas juga, ya. Bahkan jurnalis gaya hidup yang kesannya kerja fun pun tiap hari begitu-begitu aja kok: wawancara, dateng ke acara-acara, bikin laporan dan ulasannya, setor deh ke editor. Udah. Yah ada sih seneng-senengnya, tapi kan itu rutinitasnya. Sama aja. Basi-basi juga. Yah namanya juga kerja, ya, rejeki kan nggak turun gitu aja dari langit tanpa usaha apa-apa. Hahahaha.
Dulu tuh gue kira PNS
aja yang “rawan”, ternyata semua bidang mah rawan-rawan aja. Maksudnya, rawan
sama orang-orang yang nggak kerja. Di media misalnya, ada aja orang-orang
yang males, maunya enak aja. Ketika dapet tugas review event misalnya, nulisnya
nggak banyak ngubah press release, dan ketika nggak diterima dengan
baik malah marah-marah dan bawa-bawa atribut jurnalis. Jadi menurut dia nih, pers itu harus
dibaik-baikin gitu supaya bisa memberikan tulisan yang bagus. Harusnya kan
enggak, tapi ya itu, ada aja yang demikian. Salah satu rekan di tempat magang
gue ada yang menyatakan niatnya untuk menulis review negatif atas sebuah resto
karena dia nggak dilayani dengan baik, menurut dia. Gue yang saat liputan ke
situ ikut malah merasa dilayani dengan ramah ah, karena gue bertindak
sepantasnya. Dia BM banget aja sih makanya pihak resto jengkel. Perlakukan
orang dengan baik sebagaimana lo memperlakukan diri lo sendiri, lah.
Ngomong-ngomong soal kerjaan wartawan, gue juga sempet baca tuh kekecewaan AJI
karena Humas Kediri mengajak puluhan wartawan studi banding ke Bali. Menurut AJI itu lebih
kental nuansa pelesirnya daripada studi banding. Pemkotnya sih ketika
dikonfirmasi bilangnya, “…hanya meneruskan rencana kerja yang sudah ada
sebelumnya.” Yailah nggak mandiri banget sih pemerintah, emang nggak bisa
di-review apa proker itu sejauh mana akan guna untuk produktivitas?
Plesir boleh sih kalo memang untuk meningkatkan semangat produktivitas (dan
pengabdian) para PNS, pelayan masyarakat, tapi dananya jangan
dihambur-hamburkan dong. Nyebelinnya bagi gue sih mereka ngajak wartawan
seolah supaya wartawan jinak dengan pemerintah.
AJI, lewat ketua AJI
Kediri, Yusuf Sapurto, juga mengimbau para wartawan agar tetap menjaga
independensi dalam menjalankan tugasnya, serta menjalankan fungsi control
terhadap kekuasaan. Ya wajar sih kalo dia ketar-ketir, karena jelas banget
kesan pers yang seperti peliharaan. Menurut gue pandangan ini udah beredar luas
ah, di kegiatan-kegiatan yang gue datengin jaman magang dulu berasa aja gitu
penyelenggara ingin mereka ditulis dengan kesan yang baik. Bahkan ada yang cenderung
palsu gitu sama orang-orang media. Ah, sedih juga sih.
Jadi pers jangan
marah dong kalo dibilang begitu, karena nggak sedikit juga yang memang
menganggap itu sekedar tempat cari uang, maka nggak salah kalo mengambil
sedikit kesenangan yang ditawarkan dari profesinya itu. Bukan nggak idealis,
tapi yang gue lihat sih memang cuma cari uang aja, nggak passion, atau memang
mentar pengusaha, apa aja yang bisa dilakukan dengan keahlian dan profesinya ya
lakukan, toh dia nggak literally mencuri apa pun. Nggak salah, toh mereka cuma
ambil peluang. Tinggal yang idealis dan punya kecintaan mendalam sama bidang
jurnalistik deh yang sedih dan berharap idealisme masih hidup sehat.
Gue sih merasa nggak
perlu join organisasi-organisasi independen untuk menjadi independen. Toh
gabung begituan nyatanya masih jadi kuli tinta untuk perusahaan berkapital
besar kok. Lakukan sajalah apa yang menjadi tanggung jawab, benahi apa yang
bisa diperbaiki dalam posisi sebagai kuli tinta, dan ambil seperlunya. Yang
terakhir itu nggak melulu materi lho, bisa juga dengan memilih jaringan
seperlunya, nggak usah sok eksis lah. We are all somebody di
dunia media, nggak ada yang “nobody” dan nggak ada yang lebih
eksis. Ini memang kesannya sok tau banget sih. Terserah kok mau komentar apa,
gue nggak akan menghakimi. Tiap orang punya pengalamannya masing-masing kan
makanya bisa punya opini berlainan?
Magang semester lalu
ternyata banyak banget ngasih gue berbagai “penglihatan” soal dunia kerja
nantinya. Yah memang itu sih ekspektasinya. Bagusnya gue jadi bisa menetapkan
dimana akan ngeburuh tinta setelah icip-icip pahitnya, meski sedikit tau lah
apa risikonya. Ini juga prinsip sih, ketika milih sesuatu pastikan beneran
tahu konsekuensi terburuknya, karena itu udah sepaket gitu sama yang
bagus-bagus. Hidup tuh seimbang kok, nggak akan ada yang enaknya aja. Gaji
gede juga pastinya menuntut tanggung jawab yang besar pula.
Hampir semua orang
nggak mau selamanya ngeburuh, tapi umumnya mereka memulai dengan “ngikut orang”
untuk alasan pengalaman. Entah nantinya akan bikin usaha baru yang serupa
dengan diri sendiri yang jadi boss-nya, atau berdedikasi untuk teruuuuuus naik
jabatan sampai menduduki posisi manajerial teratas. Bisa juga bener-bener
pindah bidang karena merasa nggak cocok meski udah coba berkali-kali. Gue salut
sih sama orang-orang yang begitu. Iya lah, harus banget tau apa yang lo mau
untuk hidup lo supaya bisa jalanin hidup dengan tegas dan nggak
terombang-ambing. hehehhe
Well, intinya sih menurut
gue if you want to reach the highest, begin at the lowest. And stay
honest.
Have a nice day!
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKita nggak bisa nuntut orang lain punya standard (baca: idealisme) yang sama kan sama kita, makanya gue pilih untuk ngurusin gue sendiri aja lah. Kecuali kalo tugasnya untuk tim, baru deh gue discuss supaya hasilnya maksimal. Limit sabarnya ya ketika merasa nggak berkembang aja, kalo gue.
ReplyDeleteTapi tetep ya yang dianggap jelek, tukang nyontek, males, nggak idealis pun harus dilihat dari perspektif mereka, logika mereka, nggak bisa lah gue judge mereka negatif mentah-mentah, misalnya. mungkin aja mereka beneran cuma nyari uang, nggak passion. bisa jadi memang dai awal nggak niat lama-lama di kantor itu, jadi bikin masalah nggak masalah buat dia. kalo udah gitu kan nggak bisa nyalahin, lha memang tujuannya bukan untuk passion ya nggak salah dong.
tapi gue memutuskan untuk jadi kuli tinta dulu kok setelah lulus. hehehhe
ah gue kan mager banget ikutan self motivational atau coach-coach gitu, gue ngeyel begini... tapi udah gue coba tengok link-nya nggak bisa kebuka nio, udah dicoba berkali-kali
Mesem-mesem, setuju Ppe. Tapi gue malah pengin yang "aman" dulu entah kenapa dengan kantoran. Nggak nantang sama sekali ya -_-
ReplyDeleteyou are fully capable of deciding your own destiny uthaaaaaaa
ReplyDeleteThe question you face is, which path will you choose? This is something only you can decide
I could only wish you good luck :)
ehem...yang bagian resto itu kayaknya aku juga ada di olah TKP deh.hahahaha...dan sampai sekarang dia berperilaku yg sama.menurut aku jgn mentang-mentang kita sebagai media terus mintanya ini itu kayak raja.
ReplyDeleteyah, cel, setidaknya dia dan pengalaman kalian dengan ibu siomay ngasih aku pelajaran lah :)
Deletehahaha..panggilan baru tuh "ibu siomay". pengalaman selama beberapa bulan disitu bener-bener nunjukin kalau di dunia kerja terkadang "temen" bisa berubah jadi "monster", ya kalo rejekinya lagi bagus sih "temen" jadi "demen". LOL!!
Deletehmmm kalo majalah cewek nampaknya sunyi sunyi aja deh cel
Deletemakanya segera lah berpaling ke radio supaya ketemu sama yang macemnya kayak siapa tuh host di acara single launching-nya si Edric hahahaha :D