Balada Pencari Kerja: Idealisme dan Ekspektasi Orang Lain
Dengar-dengar, katanya
kita ini harusnya bisa terus bergerak dan termotivasi karena passion kita,
bukan karena rasa takut. Saya sempet sih takut durhaka dan jadi pengangguran.
Selain apply ke
perusahaan media, sebenarnya saya juga ikut seleksi seleksi management trainee perusahaan
minuman berkarbonasi. Ini bukan maunya saya kok, tapi demi nyenengin ibu saya
yang pengen banget anak sulungnya kerja kantoran kayak orang-orang. Tapi saya
ogah-ogahan banget menjalaninya. Nggak cuma itu, terasa banget lingkungannya
bukan habitat yang nyaman buat saya tinggali nantinya huffft
Oke, jadi setelah
memutuskan untuk nggak ikut tahap akhir seleksi karyawan di grup TV swasta
beberapa waktu lalu, saya ikut leaderless FGD di perusahaan minuman ini. Akhirnya
ya jelas saya nggak lanjut, orang saya cukup pasif di tengah para ambisius muda
yang siap bunuh-bunuhan demi harta dan tahta itu. No offense ya, karena itu kesan pribadi yang saya tangkap
dari interaksi saya dengan para peserta lainnya hari itu.
Sebenernya itu nggak
salah karena memang mereka memilih jalan itu, dan mereka benar-benar bagus
dalam hal itu: kompetisi. Tentunya dengan cara mereka masing-masing yang memang
diperlukan dalam kondisi itu.
Saya mengakui kok saat ini kadar ambisi saya lagi minim banget di seleksi pemimpin muda masa depan seperti itu.
Saya cenderung cari aman pula supaya semua orang yang sedang bekerja sama
dengan saya bisa senang dalam banyak hal. Meski begitu saya merasa punya niat
yang kuat ketika hendak memulai sesuatu, dan itu selalu membuat saya mendapatkan
apa yang saya inginkan dan mencapai target, lagi-lagi asalkan dalam
perjalanannya nggak menyakiti banyak orang lah. Nah masalahnya saya nggak punya
niatan kerja di perusahaan begitu, kan maunya di majalah gaya hidup.
Salah seorang sahabat
saya dan papanya menyarankan saya untuk teguh di majalah, sementara banyak yang
lain meminta saya untuk nggak menutup diri dari kesempatan lain. Bahkan ada
yang menyatakan rasa sebalnya mendengar kesombongan saya untuk keukeuh
ngejar kerjaan di salah satu grup majalah tebesar nasional. Dia boleh sebal,
tapi saya punya alasan kuat untuk sombong. Yah tapi dari gunjingan dia tentang
saya, yang kemudian saya dengar dari seorang sahabat yang lain, jadi tahu aja
kalo kesombongan saya udah sampai mengganggu orang yang nggak mau paham kenapa
saya demikian. Hufft... okelah kalau begitu, lain kali saya nggak nunjukin keras kepala yang segitunya deh kalo di depan orang yang
nggak deket-deket banget.
Salah satu
kesombongan yang saya utarakan ke teman saya itu adalah saya nolak
kerjaan di media cetak nasional terbesar senusantara, setelah nggak mau dateng
seleksi lanjutan di grup TV nasional. Yah gimana dong, saya nggak merasa cocok
dan nyaman dengan cara kerja di sana. Jelas nggak ada kerja yang 100 %
menyenangkan, jadi pertimbangan utamanya ya konsekuensi apa nih yang masih bisa
saya toleransi sehingga tetap produktif di perusahaan itu.
Kata sahabat saya,
teman kami ini berpikir saya akan berubah nantinya, karena terdesak uang. Satu
hal penting yang dia nggak tahu adalah bahwa saya nggak membiarkan ketakutan
nggak punya uang mengendalikan hidup saya. Jelas uang itu penting, tapi bukan
yang utama. Klise tapi buat saya nyatanya begitu. Dia pikir saya manja karena bawel soal
idealisme yang saya tuntut di tempat kerja, di saat yang sama dia berpikir saya
cuma bisa makan dan senang-senang dengan uang orangtua saya.
Wah, padahal saya ambil
kerjaan freelance nulis yang sekarang ini nggak ngitung-ngitung
idealisme banget lho. Begitu juga selusin kerjaan lain yang saya ambil sambil
kuliah. Saya bisa nulis, juga senang ngobrol dan bertemu orang-orang baru, dan
itu salah satu hal yang bisa saya manfaatkan untuk hidup, jadi saya pikir ini
adalah hal yang memuaskan bisa melakukan apa yang saya suka dan dibayar untuk
itu. Dengan pertimbangan keleluasaan waktu supaya saya bisa ikut rekruitmen di
sana-sini, konsekuensinya jelas stabilitas finansial yang belum mantap. Dan saya
ambil konsekuensi itu, demi kesempatan yang lebih besar yang saya yakin udah
tersedia kok buat saya. Saya cuma perlu menjemputnya, dan itu adalah
perjalanan. Itu aja.
Ngomong-ngomong, si teman ini sekarang
benar-benar nganggur, jadi mungkin salah satunya karena itu dia tersinggung
mendengar saya pilih-pilih kerjaan. Jujur saya juga cukup tersinggung sih
mengetahui dia komentar begitu. Yah, gue nggak bisa mengendalikan apa yang
dipikirkan orang lain kan, so I live the way I fucking want to. Toh, ini nggak melanggar hukum meski buat dia itu mengganggu.
Banyak mau banget ya
gue. Hahaha
Ya maaf kalau
mengganggu, saya yakin kok ini nggak sia-sia.
banyak mau dalam hal mencari pekerjaan yang tepat menurutku itu wajar kok (karena aku juga gitu.hahaha). yang kita butuhkan dalam suatu pekerjaan itu bukan cuma dapet duit nya aja, tapi dapet teman yang baik dan lingkungan yang nyaman juga. hhmm... yang aku liat kamu bukan sombong kok, tapi lebih kepada tetap berprinsip dan fokus sama apa yang ingin kamu capai. biarlah teman mu berkata apa, anggep aja kata-kata dia motivasi buat kamu. terkadang bersikap masa bodo dengan omongan orang itu mengasyikan lho. hehehe... *bighug*
ReplyDeletewhat an inspiring post!
ReplyDeleteM + K