Cukup Di Sini, Belum Di Tempat Lain
Belum
lama ini, saya sempat berbincang dengan seorang aktris ibukota. Saya
ingat betul waktu itu dia bilang begini: manusia itu harus mengenal kata cukup.
Waktu itu saya mengartikan ucapannya sebagai pengingat bahwa manusia itu nggak boleh tamak, tapi ternyata ucapan itu applicable juga dalam hal-hal
lain. Ketika merasa nggak nyaman sama suatu keadaan, misalnya, manusia juga
harus bisa berkata cukup. Supaya bisa bangkit, supaya bisa lanjut. Cukup, ya,
hawa-hawa negatifnya. Cukup, ya, kebiasaan di kelompok yang nggak mengembangkan
diri. Cukup, ya, menjalani kehidupan yang ternyata memang nggak sesuai sama
prinsip hidup, tentunya setelah mencoba untuk beradaptasi.
Saya ingat lagi omongan si aktris gara-gara belum lama ini seorang teman galau karena perkara di tempat kerjanya. Masalahnya campur aduk
antara profesionalitas, budaya yang eksis di sana, dan perkara asmara.
Singkatnya dia menjadi tak betah berada di tempat kerja. Dia mengeluh terus setiap hari, tanpa ingat bahwa yang dicurhati juga
punya perkara yang ingin dikeluh-kesahkan.
Intinya teman saya itu ada di posisi yang nggak enak di pekerjaan. Kan kalau sudah begitu seharusnya melakukan sesuatu buat mengubah keadaan. Saya setuju dengan ucapan seorang teman yang lain soal ini, bahwa sebenarnya kita cuma punya dua pilihan kalau dihadapkan pada situasi nggak enak di pekerjaan: coba atasi masalahnya atau tinggalkan dan pindah ke tempat baru.
Jelang akhir tahun 2016 lalu saya juga mengalami dilema di tempat kerja. Ingin pindah, tapi sebetulnya tawaran pekerjaan yang masuk sama sekali berbeda dengan bidang pekerjaan saat ini. Sementara itu bertahan lebih lama jelas bukan pilihan, karena jelas perusahaan ini akan karam padahal saya butuh penghasilan tetap setiap bulan.
Kebetulan wawancara dengan si artis itu adalah project terakhir saya sebelum tawaran kerja di tempat baru itu saya terima. Rasanya wejangan darinya soal mengenal kata cukup itu menguatkan tekad saya buat resign dan mencoba mengerjakan hal baru di perusahaan lain. Pengalaman kerja di tempat kemarin jelas masih jauh dari cukup, tetapi ada hal lain di tempat itu yang rasanya sudah jauh dari cukup.
Sejujurnya saya punya ketakutan-ketakutan akan ketidakpastiaan di tempat kerja yang baru ini; tapi apa, sih, yang pasti di kehidupan ini?
Saya akhirnya mencoba move on meski jalan setelahnya tidak mulus. Kekhawatiran saya cuma satu untuk si
teman A ini: jangan sampai dia seperti katak yang pelan-pelan mati terebus, karena menunda untuk melompat. Harus merasa cukup, dalam artian sudah
cukup nggak enaknya. Hidup masih panjang dan masih harus coba nggak enak-nggak
enak di tempat lain. Supaya pengalamannya makin banyak, supaya temannya juga kian
banyak. J
Jakarta,
28 Januari 2017
Comments
Post a Comment