Novel Ahmad Tohari Pelipur Rindu Kampung Halaman
Tahun ini saya nggak mudik Lebaran dan menghabiskan hari raya ini dengan me time di rumah. Damai banget rasanya; tanpa ingar-bingar petasan dan kunjungan ke sana-sini yang lumayan menguras energi psikis, tetapi juga tanpa suasana asri pedesaan di rumah si mbah yang bikin hati jadi tentram. Sejujurnya saya kangen dengan kehidupan desa dengan temponya yang lambat, juga celotehan orang-orangnya dalam Bahasa Jawa yang waktu kecil dulu lancar sekali saya ucapkan. Kerinduan ini juga yang akhirnya menggiring saya untuk membaca tulisan Ahmad Tohari yang lain.
Membaca tulisan Ahmad Tohari selalu ampuh menawar rindu suasana pedesaan yang menjadi kekhasan dalam karya-karyanya. Salah satu karyanya yang saya baca awal tahun ini judulnya Di Kaki Bukit Cibalak; yang bercerita tentang Pambudi, pemuda Tanggir yang bermaksud menyelamatkan desa (dan pujaan hatinya) dari kecurangan kepala desa yang baru, tetapi ia malah tersingkir dari desanya.
Di Kaki Bukit Cibalak ini ceritanya sederhana, dan caranya ditutukan pun terasa mengalir juga ringan. Namun di beberapa bagian rasanya adegan dijelaskan dengan terburu-buru. Misalnya soal mulusnya usaha Pambudi menggalang dana lewat Harian Kalawarta, juga kemajuan kerjanya di sana sembari kuliah. Memang jalan ceritanya jadi lebih singkat, toh ceritanya sendiri menang tidak rumit. Namun tetap saja ini berpengaruh pada 'rasa' muncul saat kita membaca bagian-bagian seperti itu: seperti didongengi karena terkesan too-good-too-be-true.
Meski demikian saya selalu menikmatinya ketika Ahmad Tohari mulai menggambarkan suasana desa dengan rangkaian kata-katanya. Suara kerbau atau kicauan burung di tengah lansekap alam, misalnya, terbayang begitu saja dengan indah. Rasanya bagai menatap lukisan Mooi Indie; tetapi bukan Mooi Indie-nya Walter Spies atau Basuki Abdullah yang megah-megah, melainkan Mooi Indie yang lebih jujur seperti lukisannya Sudjojono.
Bisa jadi suasana permai yang digambarkannya itu saat ini sudah tergusur oleh modernitas yang merangsek ke desa-desa, termasuk desa tempat saya menghabiskan masa kecil dulu. Namun tetap saja rasanya begitu damai bisa menengok kembali imaji desa yang terekam dalam memori saya dalam bentuk cerita.
Overall buku ini nyaman dibaca tanpa harus berpikir keras. Meski kali ini ada beberapa catatan kecil, karya Ahmad Tohari tidak pernah gagal membawa pembacanya ke desa-desa; dengan cara hidup masyarakatnya yang sederhana, tapi selalu menanggung berbagai permasalahan klasik soal kelas sosial yang sama sekali tidak sederhana.
Comments