Sudah Bekerja Sesuai Passion, Tetapi Idealismenya Beda. Harus Gimana?
Sampai beberapa bulan lalu, saya masih percaya kalau passion dan idealisme dalam pekerjaan itu satu hal yang pasti co-exist satu sama lain. Lebih tepatnya, idealisme pasti ada kalau passion-nya sudah ada di suatu pekerjaan. Kalau memilih bekerja di bidang yang sesuai passion pun, berarti sudah memilih idealisme juga. Namun refleksi-refleksi diri dan mendengar cerita beberapa orang teman mengubah cara pandang saya akan hal ini.
Passion dan idealisme itu dua hal yang terpisah. Ada pekerjaan yang sudah sesuai dengan passion, tetapi idealismenya di tempat kerja ternyata beda karena values atau nilai-nilai perusahannya nggak sejalan dengan yang kita pegang. Akhirnya jadi nggak nyaman karena cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tim bertentangan dengan yang kita yakini benar.
Selain beberapa kali mengalaminya sendiri (dan akhirnya pindah kerja), perkara bekerja sesuai passion dan idealisme di tempat kerja ini dialami juga oleh Kabul, insinyur muda dalam novel Orang-Orang Proyek karangan Ahmad Tohari, yang gelisah banget dengan kekacauan di tempat kerjanya. Ia memimpin proyek pembangunan jembatan di sebuah desa, tetapi dana dan bahan bangunannya dikorupsi ramai-ramai oleh banyak pihak. Saat curhat ke seniornya pun, Kabul malah diajak ikut korup saja selagi masih bisa menikmatinya.
Kabul gelisah benar karena dana proyeknya bocor di sana-sini. Sudah mutu jembatan jauh dari layak, masih pula dikebut pembangunannya demi pesta ulang tahun partai yang berkuasa saat itu. Kegelisahannya itu suatu waktu dikatakannya kepada Pak Tarya, seorang pemancing tua di Sungai Cibawor, lewat curhatannya ini:
"Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik lokal menghendaki jembatan itu selesai sebelum Pemilu 1992. Karena, saya kira, peresmiannya akan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye partai golongan penguasa. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis-ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik."
Sebagai sarjana teknik sipil, menurutnya pembangunan proyek jembatan itu nggak bisa dikebut-kebut, nggak bisa pula memakai bahan yang di bawah standar. Apalagi kalau yang kualitas tertulis di kertas ternyata beda dengan kenyataannya. Selain akan menurunkan mutunya dan bikin jembatan itu cepat roboh, sebenarnya yang Kabul permasalahkan adalah kredibilitasnya sebagai seorang insinyur. Nggak mau dia jadi insinyur abal-abal yang dikenal sebagai 'orang proyekan', yang cuma nyari untung dari proyek-proyek pembangunan tanpa peduli kualitas.
Sebenarnya hal seperti itu dalam hal berbeda sangat wajar di semua tempat kerja. Banyak pekerjaan harus selesai dalam waktu singkat karena alasan produktivitas, banyak pula jalan pintas yang dilakukan untuk mencapai suatu target untuk alasan efisiensi. Atau yang paling banyak terjadi juga, pekerjaan yang harusnya dikerjakan beberapa orang dengan spesialisasi berbeda, dikerjakan juga oleh satu orang yang sama dengan bayaran yang seadanya. Kemudian kalau ada kesalahan yang bikin malu perusahaan, ya orang itu pula yang kena batunya.
Tentu hal-hal sulit dalam pekerjaan itu bisa menjadi pengembangan diri juga buat seseorang, baik yang memang punya passion di situ atau masih menjelajah buat mencari tahu passion-nya apa. Bagaimana caranya supaya dalam tenggat waktu tertentu, tugas-tugas di pekerjaan bisa selesai dengan baik? Bagaimana caranya supaya hasil pekerjaan kita kualitasnya layak dengan berbagai penyesuaian yang nggak ideal? Karena itu, mereka yang bisa melakukan ini yang akhirnya disebut profesional.
Passion itu penting, meski ini privilege juga buat sebagian orang. Namun kalau berkaca dari pengalaman sendiri, rasanya idealisme yang nggak sejalan itu sih yang akhirnya bikin saya berpikir ulang buat bertahan di suatu pekerjaan untuk waktu lama. Sejauh mana definisi ideal itu bisa dikompromikan dengan keadaan dan tuntutan pekerjaan. Sejauh mana definisi ideal itu boleh diutak-atik.
Pekerjaan memang bisa saja tidak sesuai passion, atau nggak selalu ideal. Namun kalau sudah menyentuh hal fundamental seperti prinsip dan nilai-nilai yang kita yakini, rasanya itu persimpangan jalan yang akan dilewati setiap orang dalam pekerjaannya. Mengerjakan sesuatu yang kita sukai dan dibayar untuk itu tetapi didikte orang lain, atau mundur dan kehilangan peghasilan tetapi jiwa kita lebih damai?
Jawabannya tentu berbeda di setiap kondisi. Ada yang pragmatis saja dengan nggak peduli pada hal-hal semacam passion, idealisme, atau values sekalipun; asalkan ia tetap dibayar untuk pekerjaannya. Ada yang bertahan karena tuntutan hidup dan tanggung jawab keluarga. Ada juga yang memilih mundur seperti yang dilakukan sosok Kabul dalam cerita Ahmad Tohari itu, agar dirinya nggak ikut-ikutan menjadi orang tamak yang mengambil hak orang lain.
Nggak ada yang salah dengan apapun pilihan yang kita ambil. Sebab dalam hidup, nggak selamanya kita punya pilihan yang menguntungkan. Buat yang sedang dalam posisi bertahan, rasanya kutipan dari Winston Churchill ini bisa menjadi sedikit penyemangat:
"It's not enough that we do our best; sometimes we must do what is required."
Semoga situasinya bisa membaik dan membawa pilihan yang lebih baik pula ya!
Comments